SEJATINYA kebiasaan mencontek dalam setiap ujian, terutama dalam Ujian Nasional (UN) sudah harus dihilangkan. UN yang akan dilaksanakan medio April nanti dan dengan kriteria kelulusan yang jauh berbeda berbanding tahun lalu, kiranya menjadi momen untuk itu. Menurut Permendiknas No 45 Tahun 2010 tentang kriteria kelulusan UN TP 2010/ 2011 bahwa kelulusan peserta UN akan menggabungkan rata-rata nilai-nilai rapor (40%) dengan hasil UN (60%). Artinya kemungkinan lulus akan lebih tinggi berbanding ketentuan sebelumnya. Maka tradisi mencontek karena memaksakan lulus dalam UN harus sudah dihilangkan. Tapi tulisan ini masih menyisakan pertanyaan: apakah mungkin?
Keraguan itu muncul tidak lain karena banyak yang skeptis dan pessimistis bahwa kebiasaan mencontek dalam UN akan bisa dihilangkan. Diakui atau tidak bahwa ternyata kebiasaan mencontek bukan saja ada akan tetapi benar-benar sudah merasuk ke jiwa peserta didik (siswa) di negeri ini. Setiap tahun dilaksanakan UN, setiap tahun pula kasus kecurangan dalam UN muncul. Padahal begitu ketatnya peraturan pelaksanaan UN dibuat sebagai antisipasi kebiasaan tak jujur tersebut.
Kebiasaan mencontek tidak lagi sekedar perbuatan spontan yang dilakukan sewaktu-waktu tanpa rencana oleh peserta didik. Kebiasaan mencontek sudah benar-benar menjadi bagian kebiasaan hidup sebagian besar para peserta didik. Dari sekolah rendah (di Pendidikan Dasar) hingga ke sekolah menengah (SLTA) bahkan di Perguruan Tinggi, tradisi mencontek selalu ada dan tidak mudah pula menghapusnya.
Sulitnya melaksanakan UN yang bersih, jujur, bertanggung jawab, akuntabel dan objektif di Indonesia, salah satu sebabnya adalah karena bercokolnya mental mencotek dalam setiap diri peserta didik selama ini. Berbagai cara dilakukan Pemerintah dan BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikian) agar UN benar-benar murni pelaksnaannya dan murni pula hasilnya.
Pemerintah berusaha dan berkepntingan untuk melaksanakan UN dengan baik karena sudah diamanatkan oleh Undang-undang Sisdiknas (UU No 20/ 2003) dan PP No 19/ 2005. Berbagai aturan dikeluarkan. Untuk UN tahun ini, Kemendiknas mengeluarkan Permendiknas No 45 tentang Kriteria Kelulusan dan No 46 tentang Pelaksanaan UN sementara BNSP sebagai pelaksana yang diamanatkan undang-undang mengeluarkan peraturan No 0148/ SK-POS/ BNSP/ I/ 2011 tentang POS (Prosedur Operasi Satandar) UN sebagai panduan. Cukup bagus Permendiknas dan POS-UN itu secara teoritis. Tapi apakah sebagus itu di praktek?
Dalam Peraturan ditegaskan bahwa setiap pelaksana UN –dari Pusat sampai sekolah-- wajib menjaga kerahasiaan dan keamanan –bahan dan penyelenggaraan—UN serta menerapkan perinsip kejujuran, objektivitas dan akuntabilitas pelaksanaan UN. Realita di lapangan, masih ada sekolah yang sengaja mengatur dan membocorkan rahasia dengan membagi-bagi jawaban kepada peserta. Antara satu siswa dengan yang lainnya juga saling memberi jawaban UN. Tradisi contek-mencontek dalam UN selama ini masih temukan.
Tidak sekedar antar siswa yang saling mencontek, para guru dan bahkan Kepala Sekolah pun diduga ikut-ikut terlibat. Berbagai strategi kotor dan curang dilakukan sekolah. Penyebabnya selalu dikatakan karena kriteria kelulusan yang hanya menggunakan UN semata.
Penelitian sederhana yang dilakukan di kelas membuktikan bahwa kebiasaan dan keinginan mencotek itu hampir merata di kalangan siswa. Sulit mencari siswa yang benar-benar steril dari keinginan dan kebiasaan mencontek dalam ujian. Setiap siswa yang ditanya, “Apakah pernah mencontek/ menerima jawaban dalam ujian?” Hampir semua menjawab dengan jujur bahwa selama menjadi siswa (kalau peserta didik di SLTA berarti sejak SD sampai SLTP) mereka melakukan kebiasaan mencontek. Paling tidak pernah menerima jawaban dari teman-temannya. Bahkan ada yang mengaku bahwa ketika UN di SLTP juga dapat jawaban dari para guru.
Jika ditanya, “Apakah ada yang tidak ingin mencontek dalam ujian?” Ternyata jawabanya tidak ada. Artinya, kebiasaan menconrek itu memang sudah mendarah-daging.
Apakah ini memalukan? Tentu saja. Tapi apakah ini akan ditutup terus? Tentu tidak. Sekolah harus berani, paling tidak menyebutnya secara terbuka. Mengakui kekeliruan itu guna diperbaiki. Jangan lagi ditutup seolah-olah semuanya berjalan jujur.
Jadi, betapa sudah beratnya permasalahan mental pencontek ini. Kalau tetap terbiar, tidak akan pernah ada ketenangan dan kenyamanan dalam setiap kali ada ujian. Mental pencontek akan selalu tertekan jika ada ketentuan dan kebijakan untuk meluruskannya. Ketika Pemerintah membuat kebiajakan baru dengan menambah jumlah paket soal dari dua paket (2009/ 2010) menjadi lima paket pada tahun 2010/ 2011 ini, banyak siswa yang risau dan panik. Bahkan guru pun ada yang disinyalir ikut-ikut panik. Jelas kerisauan itu berkaitan dengan kian sulitnya kesempatan menconetek dalam UN. Jika teman di kiri-kanan dan muka-belakang tidak lagi sama paket soalnya yang berarti jawababnya juga akan berbeda maka sulit untuk melakukan kebiasaan mencontek.
Itulah sebabnya tulisan ini masih ragu, apakah mungkin menghilangkan kebiasaan contek-mencontek dalam UN. Tapi harusnya memang bisa dan harus berusaha untuk menghilangkannya. Fungsi UN sebagai alat pengukur dan penilai kompetensi peserta didik secara nasional tidak akan pernah tercapai jika pelaksanaan UN tidak juga jujur, objektif dan akuntabel.
Beberapa langkah yang mungkin dapat ditempuh untuk menghapus kebiasaan mencontek antara lain, Pertama; harus lebih gencar dan terus-menerus mengingatkan bahwa mencontek dan memberi jawaban dalam ujian itu adalah perbuatan yang salah. Itu dosa karena ada kebohongan di dalamnya. Kebiasan ini tidak saja merendahkan mutu UN-nya tapi juga merendahkan martabat peserta dan pelaksananya. Sekolah atau siapa saja jangan hanya sekedar mencari kelulusan dengan persentase yang tinggi. Jangan tutup mata terhadap kecurangan dalam ujian.
Kedua; sanksi yang jelas dan tegas wajib dilaksanakan. Ketentuan dan tata tertib yang suddah disusun –di Permendiknas dan POS—janga hanya tinggal di kertas saja. Pasal 26 tegas mengatakan, “Perseorangan, kelompok, dan/ atau lembaga yang melakukan pelanggaran, penyimpangan dan/ atau kecurangan dalam penyelenggaraan UN dikenakan sanksi sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku,” Tentu jika siswa melanggarnya dengan mencontek, terapkan hukuman sudah eksplisit terurau dalam ketentuan itu. Jika guru atau siapa saja yang melanggar (dengan menyebarkan jawaban) juga harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. Mental yang terlanjur rusak karena hanya berpikir lulus saja seperti selama ini, harus diperbaiki juga.
Ketiga adalah dengan lebih meningkatkan peran PT (Perguruan Tinggi) sebagai koordinator pengawas UN di sekolah (Pasal 17 ayat 2). Ada anggapan selama ini bahwa efektivitas pengawas UN belum sesuai harapan peraturan. Rasa sayang dan kasihan terkadang salah pasang.
Keempat adalah dengan menyesuaikan system rekrutmen kepegawaian berdasarkan perestasi jujur yang diperolah seseorang dalam pendidikan. Seseorang yang berhasil memperoleh nilai yang baik dengan cara jujur dan bertanggung jawab haruslah lebih diprioritaskan dari pada yang memperoleh nilai lebih rendah. Jangan sebaliknya.
Penelitian sederhana yang dilakukan di kelas membuktikan bahwa kebiasaan dan keinginan mencotek itu hampir merata di kalangan siswa. Sulit mencari siswa yang benar-benar steril dari keinginan dan kebiasaan mencontek dalam ujian. Setiap siswa yang ditanya, “Apakah pernah mencontek/ menerima jawaban dalam ujian?” Hampir semua menjawab dengan jujur bahwa selama menjadi siswa (kalau peserta didik di SLTA berarti sejak SD sampai SLTP) mereka melakukan kebiasaan mencontek. Paling tidak pernah menerima jawaban dari teman-temannya. Bahkan ada yang mengaku bahwa ketika UN di SLTP juga dapat jawaban dari para guru.
Jika ditanya, “Apakah ada yang tidak ingin mencontek dalam ujian?” Ternyata jawabanya tidak ada. Artinya, kebiasaan menconrek itu memang sudah mendarah-daging.
Apakah ini memalukan? Tentu saja. Tapi apakah ini akan ditutup terus? Tentu tidak. Sekolah harus berani, paling tidak menyebutnya secara terbuka. Mengakui kekeliruan itu guna diperbaiki. Jangan lagi ditutup seolah-olah semuanya berjalan jujur.
Jadi, betapa sudah beratnya permasalahan mental pencontek ini. Kalau tetap terbiar, tidak akan pernah ada ketenangan dan kenyamanan dalam setiap kali ada ujian. Mental pencontek akan selalu tertekan jika ada ketentuan dan kebijakan untuk meluruskannya. Ketika Pemerintah membuat kebiajakan baru dengan menambah jumlah paket soal dari dua paket (2009/ 2010) menjadi lima paket pada tahun 2010/ 2011 ini, banyak siswa yang risau dan panik. Bahkan guru pun ada yang disinyalir ikut-ikut panik. Jelas kerisauan itu berkaitan dengan kian sulitnya kesempatan menconetek dalam UN. Jika teman di kiri-kanan dan muka-belakang tidak lagi sama paket soalnya yang berarti jawababnya juga akan berbeda maka sulit untuk melakukan kebiasaan mencontek.
Itulah sebabnya tulisan ini masih ragu, apakah mungkin menghilangkan kebiasaan contek-mencontek dalam UN. Tapi harusnya memang bisa dan harus berusaha untuk menghilangkannya. Fungsi UN sebagai alat pengukur dan penilai kompetensi peserta didik secara nasional tidak akan pernah tercapai jika pelaksanaan UN tidak juga jujur, objektif dan akuntabel.
Beberapa langkah yang mungkin dapat ditempuh untuk menghapus kebiasaan mencontek antara lain, Pertama; harus lebih gencar dan terus-menerus mengingatkan bahwa mencontek dan memberi jawaban dalam ujian itu adalah perbuatan yang salah. Itu dosa karena ada kebohongan di dalamnya. Kebiasan ini tidak saja merendahkan mutu UN-nya tapi juga merendahkan martabat peserta dan pelaksananya. Sekolah atau siapa saja jangan hanya sekedar mencari kelulusan dengan persentase yang tinggi. Jangan tutup mata terhadap kecurangan dalam ujian.
Kedua; sanksi yang jelas dan tegas wajib dilaksanakan. Ketentuan dan tata tertib yang suddah disusun –di Permendiknas dan POS—janga hanya tinggal di kertas saja. Pasal 26 tegas mengatakan, “Perseorangan, kelompok, dan/ atau lembaga yang melakukan pelanggaran, penyimpangan dan/ atau kecurangan dalam penyelenggaraan UN dikenakan sanksi sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku,” Tentu jika siswa melanggarnya dengan mencontek, terapkan hukuman sudah eksplisit terurau dalam ketentuan itu. Jika guru atau siapa saja yang melanggar (dengan menyebarkan jawaban) juga harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. Mental yang terlanjur rusak karena hanya berpikir lulus saja seperti selama ini, harus diperbaiki juga.
Ketiga adalah dengan lebih meningkatkan peran PT (Perguruan Tinggi) sebagai koordinator pengawas UN di sekolah (Pasal 17 ayat 2). Ada anggapan selama ini bahwa efektivitas pengawas UN belum sesuai harapan peraturan. Rasa sayang dan kasihan terkadang salah pasang.
Keempat adalah dengan menyesuaikan system rekrutmen kepegawaian berdasarkan perestasi jujur yang diperolah seseorang dalam pendidikan. Seseorang yang berhasil memperoleh nilai yang baik dengan cara jujur dan bertanggung jawab haruslah lebih diprioritaskan dari pada yang memperoleh nilai lebih rendah. Jangan sebaliknya.
Yang terjadi selama ini, tamatan dengan nilai seperti apapun (jujur dengan tak jujur prosesny) tidak ada pengaruhnya dalam rekrutmen kepegawaian. Justeru yang lebih berpengaruh adalah hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Pemerintah harus menghargai peserta bermenmtal juujur dan bertanggung jawab dari pada sekedar hubungan kekeluargaan.
Sesungghunya pasti masih tetap ada peserta didik yang jujur di sekolah dan belajar dengan baik. Mereka pasti mengikuti ujian dengan tidak mencontek. Tapi ketika dia merasa sudah bekerja keras untuk belajar dan memperoleh nilai-nilai yang baik dalam kelulusan, ternyata sering kalah oleh teman-temannya yang tak jujur, bernuilai lebih jelek tapi mempunyai koneksi lebih baik maka akan sulitlah menghapus kebiasaan buruk itu.
Sesungghunya pasti masih tetap ada peserta didik yang jujur di sekolah dan belajar dengan baik. Mereka pasti mengikuti ujian dengan tidak mencontek. Tapi ketika dia merasa sudah bekerja keras untuk belajar dan memperoleh nilai-nilai yang baik dalam kelulusan, ternyata sering kalah oleh teman-temannya yang tak jujur, bernuilai lebih jelek tapi mempunyai koneksi lebih baik maka akan sulitlah menghapus kebiasaan buruk itu.
Dengan perubahan kebijakan dan beberapa ketentuan oleh Pemerintah dalam pelaksanaan UN tahun ini kiranya sekolah juga berubah sikapnya, jika selama ini belum sesuai ketentuan. Namun jika sekolah sudah memenuhi segala ketentuan dengan segala harapan dan risiko yang ditimbulkannya dalam UN maka teruskanlah jalan itu. Semoga UN tetap menjadi ujian kejujuran bagi siapa saja yang cinta pendidikan.
0 comments:
Post a Comment